Jauh dalam kenangan, terpampang jelas gambar "ria-ria" Sipoholon dengan pemandian Air panasnya dikitaran tahun 70 an. satu desa kecil diperlintasan antar kota Sumatra namun banyak dikunjungi tourist manca negara. Paling tidak dalam seharinya 4 bus parawisata mampir disana melihat indahnya panorama pebukitan kapur dan sumber air panas alami.
Dulu yang pertama kali mendirikan usaha pemandian air panas disana hanya satu keluarga St. K.Situmeang (+), dengan laponya "Sabas" yang terkenal dengan dendengnya. Dengan 3 kamar mandi tertutup, dan dua kamar mandi yang lumayan luas untuk umum, yang diperuntukkan untuk penduduk setempat untuk mandi secara massal dipagi hari dan sore.
Bagi orang yang pernah ke sana akan bisa membayangkan, bahwa areal lapo sabas sekarang dengan lapo disebelahnya itulah dulu lokasi lapo sabas dan disebelah kirinya dulu itu adalah kolam "ikan jahir" dan 2meter dibelakang kamar mandi itulah bukit kapur yang begitu indah. Bentuknya mengikuti alur aliran air panas dari sumber mata air di atas bukit. Banyak terdapat tiang batu kapur yang begitu indah yang membuat orang tertarik untuk mengabadikannya.
Memang dulu batu kapur sudah di ambil dari sana tapi tidak sebuas tahun 80 an keatas. Dulu yang mengusahai/mengambil batu kapur disana hanyalah KK.M.Situmeang yang rumahnya di Lumban same. Setiap harinya mereka mengirim batu kapur itu 2 truk ke Medan. Tapi mulai tahun 80 an semua "raja tano" yang pada umumnya marga Situmeang seakan berlomba menggali lobang sedalam dalamnya untuk mengambil batu kapur dan di jual ke Medan. Mereka meninggalkan ladang dan sawahnya tarulang untuk mengejar 'hepeng' dari hasil penjualan batu kapur itu. Penggalian tidak terkendali lagi, songon na nidok ni natua tua "marrara mata marnida hepeng" dan itulah motivasi paling utama "hepeng" dan mereka seakan akan tidak memperdulikan lagi akibat dari penggalian besar besaran itu. Sejak saat itulah keindahan panorama bukit kapur Ria-ria Sipoholon seakan pupus. Yang dulunya perbukitan indah akhirnya jadi "Lobbang" menganga.
Memang dulu pernah dikelola oleh Pemda satu lokasi wisata pemandian air panas di Peanariburan. Disana dibuat beberapa tempat pemandian yang suhunya diatur mulai dari yang dangol-dangol sisilon sahat tu na mohop, dan setiap hari minggu didatangkan Band untuk memeriahkan suasana di lokasi wisata itu. Tapi tahun 1986 terjadilah gempa tektonik yang mengguncang daerah Sipoholon sekitarnya yang mengakibatkan pindahnya tempat keluarnya/sumber air panas itu. Sejak saat itu banyak tersebar sumber air panas yang kecil di sekitaran itu, tapi yang di Peanariburan mati, dan sejak itu tempat wisata itupun tutup dengan sendirinya. Lama kelamaan yang dulunya kolam ikkan jahir ditimbun dibuat jadi lapo dan pemandian air panas. St. K.Situmeang anak yang punya tanah ikut meramaikan usaha pemandian air panas dan akhirnya semua kolam ikan itu ditimbun dan menjadi lapo pemandian air panas. Tapi yang paling menggenaskan usaha penggalian batu kapur masih terus berjalan dan yang pasti akan meninggalkan masalah dikemudian hari. Yang menjadi pertanyaannya, Apakah masyarakat Sipoholon khususnya Ria-ria dan pemerintah setempat tidak menyadari akan akibat dari penggalian bukit kapur yang tidak terkendali itu? Apakah masyarakat disana tidak ada keinginan untuk mengembalikan keindahan panorama bukit kapur itu yang bisa mengundang banyak wisatawan mancanegara maupun lokal untuk berkunjung kesana? Unang do molo untungna dihalaki raja tanoi, alai molo ro bencana gabe sude jolma na disi manaon i. Memang jika penggalian itu distop, akan memungkinkan berkurangnya penghasilan mereka sehari-hari, tapi dampak positifnya adalah kemungkinan panorama bukit kapur itu bisa kembali seperti sedia kala, sebab air panas itu mengandung kapur. Jika dibiarkan lama kelamaan akan mengisi bekas galian yang ada sekarang. Dengan semakin mengalirnya wisatawan datang kesana akan menampah penghasilan masyarakat secara umum dan bukan hanya raja tanoi yang menikmatinya. Juga Pemda harus mencoba lagi menata dan mengelola dan membuat wisata pemandian air panas yang tempatnya memungkinkan, dan dari sana raja tano akan mendapat konvensasi dari pemakaian lahan mereka dan mengikutkan mereka didalam usaha parawisata itu, sehingga mereka tidak merasa dirugikan. Memang demi kebaikan semua pihak harus ada pengorbanan. Asa unang songon nanidok ni natua tua "unang sumolsol dipudi, ndada sipasingot nasoada." Horas ma dihita sude paraek rangat ria-ria sipoholon, manang na didia pe hita tinggal saonari, tongtong ma taingot hutantai. Taingot ma slogan sumut 'martabe'. Horas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar